Berdasarkan konstruksi teori secara sosial, ada anggapan bahwa pria itu gagah, gentle, kuat, tegas, rasional dll. Sebaliknya, wanita itu lemah, emosional banget, sensitif, bisa jadi sering galau hehe dll. Hmm pasti ada beberapa yang tidak terima dengan anggapan ini. Terutama saya sebagai perempuan paling enggan deh dibilang lemah. Oke oke ini akan menimbulkan sebuah perdebatan. Tapi tunggu dulu, berikut ada teori-teori bagus banget yang dapat menjelaskan antara Pria dan Wanita.
-Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan
Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
-Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial
Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala sesuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.
Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Peran laki-laki dan
perempuan, terutama yang terikat dalam perkawinan, sesungguhnya bisa dibedakan
dari dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature
dan teori nurture. Jika teori nature mengatakan bahwa perbedaan
peran gender bersumber dari perbedaan seks/biologis laki-laki dan perempuan,
maka teori nurture mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis
yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia. Konstruksi dimaksud
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Teori peran laki-laki
dan perempuan, tentu saja juga tidak bisa dilepaskan dari teori filsafat yang
menyangganya. Misalnya Plato yang memposisikan perempuan rendah, namun ia masih
menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki.
Pasti ada kelemahan dan kelebihan didalam diri Pria maupun Wanita. Tapi, bukankah dengan itu semua mereka akan saling melengkapi?
Tuhan menciptakan pria sebagai pemimpin dan wanita sebagai pendamping
yang melengkapi kekurangan pria. Sayangnya, banyak pria yang tidak
menjalankan fungsinya sehingga banyak wanita harus mengambil alih peran
pria. Setiap pria perlu belajar untuk mengembangkan diri sebagai seorang
pemimpin yang bertanggung jawab, berani mengambil keputusan, dan berani
mengambil risiko. Pria harus berperan sebagai pelindung yang membuat
wanita merasa aman. Sebaliknya, setiap istri atau wanita juga harus berusaha mendukung
suaminya untuk menjadi seorang kepala keluarga yang berani mengambil
risiko dan tanggung jawab.
Sumber Referensi :
1. Donny Gahral
Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman
Subono
(ed.) Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan
(Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.
2. Fadhilah Suralaga&Eri Rosatria (ed.), Perempuan
: Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002),
49-50.
3. portalgaruda.org