Sabtu, 20 Desember 2014

Apakah Peran Pria dan Wanita Sudah Setara?

Sederhananya seperti yang kita ketahui yaitu Pria yang akan mencari nafkah kelak dan Wanita yang mengurus rumah dan anak-anak. Apakah itu merupakan pemberian dan kodrat? Tidak sepenuhnya. Bisa saja ini merupakan suatu konstruksi peran yang sudah dibentuk sebelum budaya dan perkembangan masyarakat mencapai titik kemajuan.


Berdasarkan konstruksi teori secara sosial, ada anggapan bahwa pria itu gagah, gentle, kuat, tegas, rasional dll. Sebaliknya, wanita itu lemah, emosional banget, sensitif, bisa jadi sering galau hehe dll. Hmm pasti ada beberapa yang tidak terima dengan anggapan ini. Terutama saya sebagai perempuan paling enggan deh dibilang lemah. Oke oke ini akan menimbulkan sebuah perdebatan. Tapi tunggu dulu, berikut ada teori-teori bagus banget yang dapat menjelaskan antara Pria dan Wanita.

-Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan
Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.

-Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial

Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala sesuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.  

Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya. 

Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.

Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.



Peran laki-laki dan perempuan, terutama yang terikat dalam perkawinan, sesungguhnya bisa dibedakan dari dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Jika teori nature mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan seks/biologis laki-laki dan perempuan, maka teori nurture mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia. Konstruksi dimaksud sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.

Teori peran laki-laki dan perempuan, tentu saja juga tidak bisa dilepaskan dari teori filsafat yang menyangganya. Misalnya Plato yang memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki.  
 
Pasti ada kelemahan dan kelebihan didalam diri Pria maupun Wanita. Tapi, bukankah dengan itu semua mereka akan saling melengkapi?
Tuhan menciptakan pria sebagai pemimpin dan wanita sebagai pendamping yang melengkapi kekurangan pria. Sayangnya, banyak pria yang tidak menjalankan fungsinya sehingga banyak wanita harus mengambil alih peran pria. Setiap pria perlu belajar untuk mengembangkan diri sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab, berani mengambil keputusan, dan berani mengambil risiko. Pria harus berperan sebagai pelindung yang membuat wanita merasa aman. Sebaliknya, setiap istri atau wanita juga harus berusaha mendukung suaminya untuk menjadi seorang kepala keluarga yang berani mengambil risiko dan tanggung jawab.

Sumber Referensi :
1. Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono

(ed.) Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.

2. Fadhilah Suralaga&Eri Rosatria (ed.), Perempuan : Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002), 49-50.

3. portalgaruda.org